Langit Seolah Berjarak 10cm

Tepat tanggal 5 bulan Juli malam hari, kami berangkat
ke Gunung Papandayan (Garut). Semangat para pendaki
malam itu tampak dari wajah mantap dan roman bahagia
yang terpancar dalam setiap kata-kata bully yang keluar
#eh. Mengutip kata-kata bang Majid, bahwa perjalanan
adalah salah satu cara untuk saling mengeratkan satu
sama lain, so... perjalanan menuju Papandayan kemarin
juga menjadikan kami saling mengenal satu sama lain #
eciye. Banyak sekali cerita yang luar biasa yang bisa
kami bagikan kepada pemirsa dirumah, mulai dari cerita
bullying, shalat berjama’ah yang langsung menghadap
pada alam, tebak-tebakan yang katanya harus mikir dulu,
soal makan, api unggun, lelah berjalan menanjak, bau
belerang, tentang hamparan edelwies, tentang awan
yang seolah berada di telapak kaki kita, tentang puncak-
puncak gunung yang seolah bisa dipeluk, dan tidak kalah
seru cerita mengenai langit dan keajaibannya. *benerin
tempat duduk.
Nah, karena kami tidak berniat membuat film sinetron
yang dapat menghabiskan ratusan episode, jadi kami
hanya akan menceritakan beberapa moment yang indah
selama mendaki gunung Papadayan. Tidak lain dan tidak
bukan, pasti mengenai keajaiban langit yang seolah
berjarak 10 cm dengan kepala kami *lebay1.
Ceritanya sore itu kita mau cari sunset, tapi apadaya
dingin disana membuat kami menggigil parah. Tidak ada
aktivitas lain yang bisa dilakukakn selain berdekatan
dengan api unggun yang terus ditiup-tiup. Matahari yang
menghangatkan kami sejak kami datang ditempat Kemah,
mulai undur diri dengan meninggalkan cahayanya sedikit
demi sedikit. Magrib pun datang, kami shalat berjamaah
dibawah langit senjaNya, beralas matras yang terasa
batuan dan reruputan yang tertutup di bawahnya,
ditemani angin magrib yang berlarian disekitar kami,
udara semakin dingin beriringan dengan gelapnya langit
ditinggalkan mentari. Selesai shalat kami bergegas
masuk kedalam kemah berupaya memakai apapun yang
bisa menghangatkan tubuh kami, melawan dinginnya udara
diluar yang semakin menggila. #wuw
Awalnya urung untuk keluar, ingin bersembunyi saja
dibalik sleeping bag didalam kemah, tapi Prof. Zul
berteriak
“Putri, ada bintang”
Saya dan Rani pun bergegas keluar dari persembunyian
kami, dan melihat kelangit yang seolah berjarak 10 cm
itu. Ketika mengeluarkan badan dari kemah dan sleeping
bag, angin dingin langsung terasa, dinginnya benar-benar
dingin, melebihi dingin ac mobil yang kita tumpangi
semalam. Saat melihat ke langit, apa yang
ditemukan???? Ya, benar sekali, hamparan bintang yang
benar-benar indah. Subhanallah, takjub, gak bisa
berkata-kata, pokoknya itu keren banget sob.#lebay2.
Bayangkan sejauh mata memandang ke langit yang tidak
tampak ujungnya itu, penuh dihiasi oleh titik-titik
bintang yang membentuk formasi, warna, dan bentuk
yang berbeda-beda. Cahyanya bagaikan mata-mata bayi
yang baru beres mandi sob, bersih, bersinar, bulat,
pokoknya mah..... keren.
Lalu, aku akui aku jatuh cinta kembali kepada
langit.*teruskenapa?#skip, gak jelas.
Imbalan atas perjalanan yang lumayan menguras tenaga
itu rasa-rasanya terbayar lunas oleh keajaiban langit
yang kami temui malam itu. Bayangkan, langit yang
seolah begitu dekat dengat matamu, memperlihatkan
keelokannya, ada bintang-bintang yang memiliki aneka
warna, serta beberapa helai awan yang masih
menggantung tersisa. Seperti permen lolipop yang
berwarna-warni terbungkus dalam plastik kristal,
menggoda lidahmu untuk mengemutnya.
Awalnya kami menikmati keajabian langit itu didepan
tenda yang sempit, karena sempit dan terhalang pohon
maka kami pindah ketengah lapang yang hanya beralas
matras, dan ditemani dua senter yang tidak cukup
menerangi. Walaupun semua anggota badan kecuali
wajah sudah berlindung dibalik bahan untuk
menghangatkan, tapi tetap saja, masih terasa dingin.
Minuman-minuman hangat, dan beberapa makanan
panaspun tidak bisa mencegah dingin yang seolah
menusuk-nusuk tulang kami itu#lebay3.
Diatas dua lembar matras, kami menikmati hamparan
bintang-bintang itu bersamaan #etcie. Kemanapun mata
memandang, maka bintang-bintang itu tetap tampak,
bersinar, berkedip-kedip anggun diatas langit malam
Gunung Papandayan. Subhanallah.... Maha Besar Allah
yang telah menciptakan bintang-bintang di langit tanpa
penyangga. Aroma dingin tidak dapat kami lawan, tapi
kami menikmati sajian langit itu sambil bernyanyi-
nyanyi ria gak jelas, ngalor ngidul*ceritanya sih untuk
melawan hawa dingin.
Waktu shalat Isya tiba, lalu tanpa ngesot 1 meter pun
kami berdiri menunaikan shalat Isya berjamah di bawah
bintang-bintang yang elok itu. Alunan ayat Cinta yang
dibacakan imam pada sahalat Isya itu memberikan kesan
berbeda, berada ditengah lapangan yang gelap, tanpa ada
penerangan yang cukup, di bawah langit yang sedang
memamerkan keindahan bintangnya, dan dikelilingi
dinginnya puncak yang semakin menjadi, membuat shalat
berjamaah Isya kali itu sangat luar biasa.#
lebayberapaya?.
Mudah-mudahan Allah menerima shalat berjamaah kita
malam itu ya Guys :) (Aamiin).
Saat bersujud, terdengar bunyi gigi yang beradu tanda
menahan dingin dari salah seorang kawan yang ikut
shalat berjamah malam itu, angin yang mengendap diatas
matras yang dijadikan alas shalat menambah syahdu
shalat Isya kami malam itu. Jika biasanya kita shalat
isya mengahadap sejadah yang bergambar ka’bah atau
gambar lafadz Allah, malam itu kami menghadap pada
hutan yang dikelilingi pohon-pohon yang kokoh dan
berwarna hijau. Pohon-pohon itu berdiri rapi, menyindir
kami untuk merapikan barisan shaf shalat kami pula.
Jika biasanya ketika kami mengucapkan salam diantara
dua sujud setelah shalat, kami hanya melihat dinding-
dinding bangunan yang bisu. Malam itu, kami melihat hal
yang berbeda. Ketika kami memalingkan wajah kami ke
kanan sambil lirih mengucap salam, kami melihat
hamparan edelwies yang tersenyum-senyum dibalik
kegelapan. Lalu ketika kami menghadapkan kepala kami
ke kiri, tampak 3 tenda kami berdiri kedinginan
ditengah gelap dan dikelilingi pohon-pohon yang tidak
terlalu tinggi. Kemudian, jika selesai shalat kita
menengadah ke atas hanya melihat atap-atap bangunan
yang tidak jarang warna atapnya yang sudah memudar,
malam itu ketika kami menengadah keatas, kami
langsung melihat ribuan bintang yang sekali lagi aku
katakan sangat elok untuk dipandang. Maka nikmat Allah
yang manakah yang kamu dustakan?
Karena beberapa kawan sudah tidak kuat melawan
dinginnya malam ditengah lapang tanpa ada hangat dari
api unggun, maka kami berpamitan dengan lapangan yang
dikelilingin edelwies dan pohon-pohon itu. Ets, bukan
berarti cerita mengenai keajaiban langit malam itu
selesai loh. Sekarang, dilanjutkan dengan mengenal
langit lebih dalam. Aku, Prof. Zul, dan Rani Chan
menebak bentuk-bentuk ribuan bintang yang berada
seolah 10 cm dengan mata kami. Sisanya, sibuk dengan
tebak-tebakan yang katanya harus mikir dulu itu sambil
berdekat-dekatan pada api unggun yang semakin
membesar.
Hasil pemburuan ngasal kami (Aku, Zul, dan Rani) itu
menghasilkan beberapa bentuk bintang baru. Pertama
ada bintang bajak (ini sih udah ada sebelumnya juga), ada
bintang segitiga sama kaki, sama sisi, tapi yang sama
aku mah gak ada :”( *Apasih?!!?. Ada juga bintang yang
berbentuk kepala bayi, bintang yang seperti simbol tak
terhingga, bintang berbentuk hati *iniseriusada?,
bintang berbentuk layang-layang, wah pokoknya mah
banyak dan keren banget. Sebenanrnya kalo
diperbolehkan dan kuat menahan dinginnya, ingin sekali
tidur diluar dan langsung menghadap langit dan
diselimuti ribuan bintang-bintang itu. Tapi, ya apa daya
dinginnya cuy.... kagak tahan.
Semakin malam, bintang-bintang itu semakin berdesak-
desakan memamerkan kecantikannya. Berlenggak-
lenggok diatas hamparan langit yang gelap. Tapi sayang,
hawa dingin semakin menjadi juga, membuat kami
menyerah dan sembunyi dibalik tenda. Mempersiapkan
energi untuk melihat keajaiban langit pagi#katanya :P.
SubhanAllah, Maha Besar Allah yang telah menciptakan
keindahan langit malam itu.
Yups, sayangnya diantara kita tidak ada yang membawa
kamera yang sedikit bagus, sehingga tidak dapat
mengabadikan ribuan bintang malam itu. Tapi semoga,
melalui tulisan ini kita akan tetap mengingat untaian
ribuan bintang dan kisah romansa langit malam gunung
Papandayan. *ciye-ciye, kedip-kedip....
Special for: Rani-Chan, Mbak Heni, Mbak Ratih, Mbak
Desty, Mbah Hana, Mbak Indri, Arif, Zul, Kak Ardi, Mas
Yoyo, Bang Majid, Mas Wisnu, Mas Doni.
Pesan sponsor: Tulisan ini bertujuan untuk membuat
cemburu teman-teman yang tidak pergi, dan menjadi
jawaban atas alasan kami suka mendaki gunung. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Will you marry with me?!!>?!>!>@?!<#)&”

Sebelum semuanya

RUU KKG, kesetaraan yang seperti apa lagi?