Belajar dari Pantai
Aku tidak pernah tahu bagaimana cara mencintai pantai,
Atau lebih tepatnya, darimana melihat pantai dengan syahdu dan damai
Aku terlalu senang mendaki, . . .
Menaiki setiap tanah dan batu yang tidak berbentuk rata
Aku terlalu berambisi dekat dengan awan, matahari, edelwies, dan puncak
Terobsesi meraih semuanya, dan terbuai menikmati semua
Hingga satu hal yang belum aku pelajari dari pendakian itu,...
Yakni mengikhlaskan.
Aku lupa belajar dari pantai yang selalu ringan untuk mengikhlaskan
Seorang sahabat berkata;
“Pantai itu mengajari kita mengenai keikhlasan,
Keihklasan menerima yang datang,
Dan keikhlasan merelakan yang pergi”
Ya, mengikhlaskan yang ringan seperti pantai.
Suatu hari, aku dengan mudah merubah jiwaku menjadi telaga
Saat para pengembara membawa beribu-ribu kendi air
Dan mereka telah menumpahkan beberapa air dalam kendi
Aku tidak pernah bertanya, mengapa tiba-tiba jiwaku menjadi telaga
Tak pernah aku bertanya terlebih dahulu,
apakah sebagian kendi-kendi itu hanya berisi angin saja. . . .
Telaga itu sudah terbentuk kawan, terlanjut terbentuk tanpa sempat aku bertanya.
Waktu bak lingkaran api yang melelehkan coklat dalam wajan
Menelan dan merubah terang menjadi gelap
Para Pengembara itu terdiam
Tidak lagi bersemangat dan giat menumpahkan air-air kendi itu
Kadang dia terdiam lama memperhatikan kendi-kendinya
Tanpa sedikitpun menoleh padaku yang sudah bisu menjadi telaga
Tapi kadang dia menumpahkan kendi-kendi itu lagi.
Aku telaga yang memiliki permukaan yang datar
Aku tidak berani sedikitun bertanya kenapa dan membentaknya ketika dia menumpahkan kembali
Aku hanya bisa terdiam
Berpura-pura dalam kebisuan
Kini, aku ingin berjumpa dengan pantai
Belajar darinya
Akan makna keikhlasan
Aku merasa ditelan rasa ikhlas yang aku terjemahkan sendiri itu
Kini para pengembara itu masih berdiri tenang dengan kendi-kendinya
Sampai sekarang, ya . . . sampai sekarang
Wahai pantai, aku ingin merubah para pengembara itu menjadi air laut yang asin saja
Yang datang dan pergi dan kau menerima dengan ikhlasnya.
Atau lebih tepatnya, darimana melihat pantai dengan syahdu dan damai
Aku terlalu senang mendaki, . . .
Menaiki setiap tanah dan batu yang tidak berbentuk rata
Aku terlalu berambisi dekat dengan awan, matahari, edelwies, dan puncak
Terobsesi meraih semuanya, dan terbuai menikmati semua
Hingga satu hal yang belum aku pelajari dari pendakian itu,...
Yakni mengikhlaskan.
Aku lupa belajar dari pantai yang selalu ringan untuk mengikhlaskan
Seorang sahabat berkata;
“Pantai itu mengajari kita mengenai keikhlasan,
Keihklasan menerima yang datang,
Dan keikhlasan merelakan yang pergi”
Ya, mengikhlaskan yang ringan seperti pantai.
Suatu hari, aku dengan mudah merubah jiwaku menjadi telaga
Saat para pengembara membawa beribu-ribu kendi air
Dan mereka telah menumpahkan beberapa air dalam kendi
Aku tidak pernah bertanya, mengapa tiba-tiba jiwaku menjadi telaga
Tak pernah aku bertanya terlebih dahulu,
apakah sebagian kendi-kendi itu hanya berisi angin saja. . . .
Telaga itu sudah terbentuk kawan, terlanjut terbentuk tanpa sempat aku bertanya.
Waktu bak lingkaran api yang melelehkan coklat dalam wajan
Menelan dan merubah terang menjadi gelap
Para Pengembara itu terdiam
Tidak lagi bersemangat dan giat menumpahkan air-air kendi itu
Kadang dia terdiam lama memperhatikan kendi-kendinya
Tanpa sedikitpun menoleh padaku yang sudah bisu menjadi telaga
Tapi kadang dia menumpahkan kendi-kendi itu lagi.
Aku telaga yang memiliki permukaan yang datar
Aku tidak berani sedikitun bertanya kenapa dan membentaknya ketika dia menumpahkan kembali
Aku hanya bisa terdiam
Berpura-pura dalam kebisuan
Kini, aku ingin berjumpa dengan pantai
Belajar darinya
Akan makna keikhlasan
Aku merasa ditelan rasa ikhlas yang aku terjemahkan sendiri itu
Kini para pengembara itu masih berdiri tenang dengan kendi-kendinya
Sampai sekarang, ya . . . sampai sekarang
Wahai pantai, aku ingin merubah para pengembara itu menjadi air laut yang asin saja
Yang datang dan pergi dan kau menerima dengan ikhlasnya.
Komentar
Posting Komentar